Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

5 Pasal Kontroversial RUU Perampasan Aset: Antara Cita-Cita dan Potensi Penyalahgunaan

Selasa, 16 September 2025 | 20:29 WIB Last Updated 2025-09-16T13:29:59Z


JAKARTA – Sumselinfo.com

Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang digadang-gadang sebagai senjata ampuh melawan korupsi dan kejahatan luar biasa lainnya, mendapat sorotan tajam. RUU ini dikhawatirkan dapat disalahgunakan karena adanya beberapa pasal yang dinilai kontroversial dan multitafsir.

Dalam artikelnya, Prof. Dr. Harris Arthur Hedar, seorang Guru Besar Universitas Negeri Makassar dan Ketua Dewan Pembina Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), menyoroti lima pasal utama yang berpotensi menimbulkan masalah hukum. Menurutnya, meskipun RUU ini memiliki tujuan mulia, pasal-pasal tersebut bisa saja membuat hukum menjadi menakutkan alih-alih melindungi.

Pasal 2: Menggeser Asas Praduga Tak Bersalah

Pasal ini memungkinkan negara untuk merampas aset tanpa menunggu putusan pidana. Hal ini dinilai berisiko menggeser asas praduga tak bersalah. Prof. Harris khawatir, pengusaha atau pedagang yang lemah dalam administrasi pembukuan bisa rentan, karena kekayaannya bisa dianggap "tidak sah" dan langsung dirampas.

Pasal 3: Potensi Dualisme Hukum

Pasal 3 menyatakan aset dapat dirampas meskipun proses pidana terhadap orangnya masih berjalan. Hal ini bisa menciptakan dualisme hukum perdata dan pidana. Akibatnya, masyarakat bisa merasa dihukum dua kali: asetnya dirampas, sementara dirinya tetap harus menghadapi proses pengadilan.

Pasal 5 Ayat (2) Huruf a: Frasa "Tidak Seimbang" yang Subjektif

Pasal ini memungkinkan perampasan aset jika jumlah harta dianggap "tidak seimbang" dengan penghasilan yang sah. Masalahnya, frasa "tidak seimbang" dianggap sangat subjektif. Sebagai contoh, seorang petani yang mewarisi tanah tanpa dokumen lengkap bisa dicurigai karena asetnya dianggap lebih besar dari penghasilan sehari-harinya.

Pasal 6 Ayat (1): Ambang Batas Nominal yang Bisa Salah Sasaran

Pasal ini menetapkan aset bernilai minimal Rp100 juta bisa dirampas. Prof. Harris menilai ambang batas ini bisa salah sasaran. Buruh yang berhasil membeli rumah sederhana seharga Rp150 juta bisa terjerat, sementara penjahat bisa menyiasati dengan memecah asetnya menjadi di bawah Rp100 juta.

Pasal 7 Ayat (1): Merugikan Ahli Waris dan Pihak Ketiga

Pasal ini menyatakan aset tetap bisa dirampas meskipun tersangka meninggal, kabur, atau dibebaskan. Hal ini berpotensi merugikan ahli waris dan pihak ketiga yang beritikad baik. Anak-anak, misalnya, bisa kehilangan rumah warisan satu-satunya karena orang tuanya pernah dituduh melakukan tindak pidana.

Beban Pembuktian Terbalik dan Kurangnya Perlindungan Hukum

Selain pasal-pasal tersebut, RUU ini juga membalik beban pembuktian kepada masyarakat. Setelah aset disita, pihak yang keberatan harus membuktikan bahwa harta tersebut sah. Ini dianggap berbahaya karena masyarakat yang tidak paham hukum bisa kehilangan aset hanya karena tidak mampu menunjukkan dokumen formal.

Prof. Harris menyarankan agar pembahasan RUU ini harus memperjelas definisi pasal-pasal kontroversial, seperti frasa "tidak seimbang" dengan ukuran yang objektif. Perlindungan hukum juga harus dipertegas untuk ahli waris dan pihak ketiga yang beritikad baik.

Menurutnya, beban pembuktian harus tetap berada di tangan aparat penegak hukum, dan perampasan aset harus menjadi kewenangan mutlak pengadilan. Dia juga menegaskan pentingnya transparansi, akuntabilitas publik, dan bantuan hukum gratis bagi masyarakat kecil yang terdampak.

Prof. Harris menutup pernyataannya dengan menekankan pentingnya sosialisasi dan literasi hukum secara masif agar masyarakat tahu hak-haknya. Jika tidak, RUU ini bisa menjadi "pedang bermata dua" yang justru mengkriminalisasi rakyat kecil yang lemah secara administrasi, sementara orang kaya bisa dengan mudah melind

ungi aset mereka.

https://i.ibb.co/CKNpkCH/20240301-140311.jpg
×
Berita Terbaru Update